laporan keberlanjutan

MENGGAGAS CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) SEBAGAI SALAH SATU MATA RANTAI PEMBANGUNAN INDONESIA

Posted on

MENGGAGAS CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)

SEBAGAI SALAH SATU MATA RANTAI PEMBANGUNAN INDONESIA

 

Zahara

Politeknik Universitas Andalas

Eliyanora

Politeknik Universitas Andalas

 

Tidak dapat dipungkiri bahwa CSR telah dan akan terus berperan penting dalam wacana dan praktik bisnis di dunia. Isu global CSR ini juga sudah merambah Indonesia dan masuk ke semua sektor industri. Pemaknaan konsep dan pelaksanaan CSR terus mengalami perbaikan dan kemajuan yang nyata. Beberapa perusahaan di Indonesia telah melaksanakan CSR mereka untuk kegiatan yang bersifat pembangunan yang keberlanjutan (sustainability development) dan sebahagian dari mereka juga telah melaporkan pelaksanaan CSR tersebut baik secara terpisah dari Laporan Tahunan perusahaan berupa Laporan Keberlanjutan (Sustainability Reporting) maupun menjadi bagian dari Laporan Tahunannya. Pemerintah hendaknya dapat memberikan apresiasi lebih terhadap pelaksanaan CSR yang memenuhi kriteria tertentu yang dapat menimbulkan peningkatan pembangunan yang berkelanjutan (sustainability development improvement) bagi bangsa Indonesia. Salah satu apresiasi tersebut mungkin dapat berbentuk kompensasi pengurangan biaya pajak, seperti yang diterapkan terhadap pembayaran zakat ummat muslim yang disalurkan melalui badan amil zakat yang telah disahkan pemerintah. Disamping itu pembentukan sinergi antara semua komponen yang terkait dengan CSR seperti kalangan bisnis/organisasi, masyarakat dan pemerintah, diharapkan akan dapat mengoptimalkan pelaksanaan kegiatan CSR tersebut dan memberikan multiplayer efek yang lebih besar. Dan dengan adanya sinergi ini, pelaksanaan kegiatan CSR akan dapat dijadikan salah satu mata rantai pembangunan bangsa Indonesia guna menuju Indonesai yang adil dan makmur.

 

Pengantar

Perkembangan CSR di Indonesia cukup pesat dan menggembirakan. Sekarang CSR telah merambah keseluruh sektor industri di dunia bisnis bahkan organisasi yang bersifat “nirlaba” sekalipun seperti perguruan tinggi juga mulai memperhatikan dan melaksanakan CSR ini. Tetapi tentu saja pemaknaan dan pelaksanaan CSR ini masih beragam pada masing-masing perusahaan yang terlihat dari bentuk-bentuk kegiatan CSR yang mereka lakukan. Secara umum para pelaku bisnis menerjemahkan CSR sebagai salah satu bentuk perhatian lebih atau kedermawanan mereka terhadap lingkungan dan masyarakat disekitarnya dengan cara berbagi seperti melalui pemberian donasi (masih bersifat corporate philantropy). Walaupun beberapa perusahaan juga cenderung menggunakan istilah corporate sustainability untuk kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan mereka lakukan. Dimana kegiatan-kegiatan tersebut tidak hanya bersifat philantropy, tetapi telah mengarah kepada kegiatan-kegiatan yang bersifat keberlanjutan (sustainability), yang juga menunjukkan adanya usaha untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainability development).

Kalla (2006) juga menyebutkan bahwa ide ini (sustainability development) membuat pelaku bisnis suka tidak suka, mau tidak mau harus harus memahami bahwa sebuah perusahaan bukan hanya mesin keuntungan kapitalis. Sebuah perusahaan adalah ‘organisme’ dalam kehidupan bermasyarakat yang mengemban tugas lainnya secara paralel dan simultan. Menjadi bagian ‘biologis’ dalam lingkungan yang lebih besar.

Sejarah Perkembangan dan Pengertian CSR

Darwin (2006) menyebutkan bahwa sejak abad ke 15, perusahaan sudah menghadapi tekanan dari dua sisi yaitu tekanan untuk mencetak laba dari sisi pemilik dan tuntutan untuk memenuhi fungsi sosial dari sisi masyarakat. Sebagai contoh, bisnis yang dilakukan ke manca negara (dengan menggunakan armada pelayaran) oleh bangsa Portugis, Belanda, Spanyol dan Inggris dikecam karena banyak kegiatan operasinya yang melanggar HAM, perdagangan budak dicela habis-habisan dan mendapat perlawanan keras, perdagangan yang dilakukan oleh VOC dinilai telah merampas hak-hak rakyat lokal, perlakuan yang jelek terhadap kondisi dan kesejahteraan kaum buruh di Inggris pada abad ke 19 telah memicu terjadinya pergolakan kaum buruh di beberapa kota industri di Inggris.

Jadi tuntutan terhadap CSR dalam bentuk sederhana sudah muncul sejak 5 abad yang silam. Sedangkan perkembangan CSR secara konseptual baru mulai dikemas sejak tahun 1980-an yang sedikitnya dipicu oleh 5 (lima) variabel berikut : (1) Maraknya fenomena “take over” antar korporasi yang kerap dipicu oleh keterampilan rekayasa finansial. (2) Runtuhnya tembok Berlin yang merupakan simbol tumbangnya paham komunis dan semakin kokohnya imperium kapitalisme secara global. (3) Meluasnya operasi perusahaan multi nasional, termasuk di Indonesia yang dituntut untuk memperhatikan HAM, kondisi sosial dan perlakukan yang adil terhadap buruh, persis sama dengan yang terjadi pada waktu revolusi industri dua abad yang lalu. (4) Globalisasi dan menciutnya peran sektor publik (pemerintah) hampir diseluruh dunia telah menyebabkan tumbuhnya LSM (termasuk asosiasi profesi) yang memusatkan perhatian mulai dari isu kemiskinan sampai pada kekuatiran akan punahnya berbagai spesies baik hewan maupun tumbuhan sehingga ekosistem semakin labil. (5) Adanya kesadaran dari sektor korporasi akan arti penting merk dan reputasi korporat dalam membawa perusahaan menuju bisnis berkelanjutan. Semakin signifikan merk bagi suatu perusahaan, dengan menggunakan CSR, akan semakin kokoh pertahanan terhadap serangan atas reputasi perusahaan.

Sedangkan Martani (2006) menjelaskan, secara philosophy, konsep CSR dapat dikategorikan dalam tiga paradigma; Pristine Capitalist, Enlightenend Self-Interest dan Social Contract. Pandangan yang pertama merupakan perwakilan sistem ekonomi liberal dan kapitalis, dengan Milton Friedman sebagai tokohnya. Menurut pandangan ini, satu-satunya tanggung jawab sosial bagi sebuah bisnis adalah menghasilkan keuntungan bagi pemegang saham, untuk tumbuh, berkembang dan melaksanakan efesiensi ekonomi dengan penggunaan sumber daya sedemikian rupa selama tetap mentaati peraturan yaitu tidak berlaku curang dalam sebuah sistem kompetisi bebas dan terbuka. Sehingga semua konotasi tanggung jawab sosial diluar definisi diatas dianggap sebagai penyalahgunaan dana pemegang saham. Di sisi lain Sosial Contract berpendapat bahwa seluruh perusahaan dapat berusaha dalam perekonomian karena adanya kontrak sosial (sosial contract) dengan masyarakat dan oleh karenanya bertanggung jawab atau terikat dengan keingian masyarakat tersebut. Sehingga dalam pandangan kelompok ini dengan adanya kontrak sosial tersebut perusahaan bertindak sebagai agen moral sehingga perusahaan harus perusahaan harus memaksimumkan manfaat/keuntungan sosial bagi masyarakat. Sedangkan Enlightenend Self-Interest berada di sisi pertengahan, dimana menurut pandangan ini stabilitas dan kemakmuran ekonomi jangka panjang hanya akan dapat dicapai jika perusahaan juga memasukkan unsur tanggung jawab sosial kepada masyarakat paling tidak dalam tingkat yang minimal.

Sejak perkembangannya hingga kini konsep dan definisi mengenai CSR pada hakekatnya senantiasa berubah baik dari sisi akademisi maupun sisi masyarakat bisnis. Dari sisi akademisi, definisi paling tua mengenai CSR dikemukakan oleh Howard R Bowen (1953) dalam bukunya “Social Responsibility of The Bussinessman”. CSR berdasarkan Bowen adalah kewajiban dari seorang pebisnis untuk mengusahakan dan melaksanakan tindakan-tindakan dalam kerangka tujuan dan nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Namun definisi yang dianggap paling utuh adalah yang diketengahkan oleh Carroll (1979) yang menyatakan idealnya sebuah perusahaan memiliki empat macam tanggung jawab sosial yaitu ekonomi, hukum, etika dan diskresioner. Tanggung jawab ekonomi umumnya merupakan urutan teratas sesuai sifat alami perusahaan adalah bergerak dibidang ekonomi/bisnis. Tetapi masyarakat akan menuntut agar perusahaan melaksanakan tanggung jawab ekonominya dalam kerangka hukum dan tanggung jawab etika untuk hal-hal yang berada diluar batasan hukum. Sedangkan tanggung jawab diskresioner adalah bagian dari aktivitas filantropi perusahaan yang biasanya dilakukan dengan secara sukarela. Setelah definisi CSR oleh Carroll ini, tidak ada pengembangan lebih lanjut mengenai definisi dan konsep CSR di bidang akademis. Definisi oleh Carroll ini selanjutnya senantiasa dijadikan titik awal untuk mengembangkan dan melakukan analisa empiris atas aktivitas dan kinerja tanggung jawab sosial perusahaan.

Lebih lanjut diuraikan bahwa definisi CSR terkadang juga diambil dari sisi kalangan masyarakat bisnis dan organisasi profesional, misalnya World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), European Commission (EU Commission), dan Business for Social Responsibility (BSR). Tren pengembangan CSR oleh pihak non akademisi ini dimulai sejak pertengahan tahun 1990-an. Dimana hal ini terkait dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dunia bisnis secara global, yang mana CSR menjadi isu yang semakin penting bagi perusahaan untuk menjaga daya saing, kehumasan, perekrutan calon karyawan yang berkualitas serta mempertahankan loyalitas karyawan yang ada. Menariknya terdapat perbedaan fokus antara definisi CSR yang dikembangkan oleh akademisi yang cenderung mendefinisikan CSR berdasarkan type atau karakteristik tertentu, sedangkan kalangan bisnis cenderung mendefinisikan CSR dalam terminologi operasional dan hal-hal yang terkait dengan itu. Misalnya definisi CSR menurut WBCSD adalah “business commitment to contribute to sustainable economic development, working with employees, their families, the local community, and society at large to improve their quality of life”. Sementara BSR mendefinisikan “CSR is viewed as a comprehensive set of policies, practices and programs that are integrated into business operations, supply chains and decision making processes throughout the company – wherever the company does business – and includes responsibility for current and past actions as well as future impacts”.

Meskipun definisi CSR dapat berbeda-beda, dan masing-masing perusahan dapat mengangkat isu yang berbeda-beda untuk kegiatan CSR mereka, Darwin (2006) menyimpulkan bahwa CSR pada hakekatnya merupakan suatu mekanisme pengintegrasian isu sosial dan isu lingkungan ke dalam operasi perusahaan, dan kemudian mengkomunikasikannya dengan para stakeholders. Oleh sebab itu CSR dianggap sebagai rerangka strategi baru untuk meningkatkan daya saing dan mencapai bisnis berkelanjutan. Dan secara umum isu CSR tersebut mencakup 5 (lima) komponen pokok yaitu : (1) Hak Azazi Manusia (HAM); bagaimana perusahaan menyikapi masalah HAM dan strategi serta kebijakan untuk menghindari terjadinya pelanggaran HAM di perusahaan. (2) Tenaga Kerja (Buruh); bagaimana kondisi tenaga kerja di supply chain atau di pabrik milik sendiri mulai dari soal sistem penggajian, kesejahteraan hari tua dan keselamatan kerja, peningkatan keterampilan dan profesionalisme karyawan, sampai pada soal penggunaan tenaga kerja di bawah umur. (3) Lingkungan Hidup; bagaimana strategi dan kebijakan yang berhubungan dengan masalah lingkungan hidup. Bagaimana perusahaan mengatasi dampak lingkungan atas produk atau jasa mulai dari pengadaan bahan baku sampai pada masalah buangan limbah, serta dampak lingkungan yang diakibatkan oleh proses prosuksi dan distribusi produk. (4) Sosial – Masyarakat; bagaimana strategi dan kebijakan perusahaan dalam bidang sosial dan pengembangan masyarakat setempat (community development), serta dampak operasi perusahaan terhadap kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. (5) Dampak Produk dan Jasa terhadap Pelanggan; apa saja yang dilakukan oleh perusahaan untuk memastikan bahwa produk dan jasa bebas dari dampak negatif seperti mengganggu kesehatan, mengancam keamanan dan produk terlarang.

 

Sekilas Pelaksanaan CSR di Indonesia

Maraknya pelaksanaan CSR dari hampir seluruh sektor industri di Indonesia (terlepas dari pemaknaan dan kegiatannya mulai dari yang mungkin hanya bersifat filantropi sampai kepada yang pelaksanaan CSR yang mendekati hakekatnya), merupakan suatu kegiatan positif yang perlu dihargai dan diapresiasi dengan baik. Tetapi belum banyak perusahaan yang telah mengungkapkan kegiatan CSR mereka dalam Laporan Tahunan dan hanya beberapa perusahaan saja yang membuat Laporan CSR secara tersendiri, terpisah dari Laporan Tahunnan-nya. Berikut disarikan beberapa contoh perusahaan di Indonesia yang telah melaksanakan dan melaporkan kegiatan CSR perusahaan mereka, baik yang bersifat wajib (mandatory) maupun yang bersifat sukarela (voluntary).

Salah satu perusahaan pengelola sumber daya alam yang diwajibkan (mandatory) untuk melaksanakan dan melaporkan kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan mereka (perusahaan biasanya menyebut sebagai kegiatan CSR), yang dapat dijadikan contoh adalah PT Aneka Tambang (Antam). Antam telah melaksanakan dan melaporkan kegiatan tanggung jawab sosial dan tanggung jawab lingkungan mereka dengan cukup baik. Laporan tersebut dibuat secara terpisah dari Laporan Tahunan perusahaan, dengan nama Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report). Antam juga memproklamirkan jika mereka telah mengintegrasikan konsep keberlanjutan ini dalam strategi perusahaan mereka. Antam telah mempublikasikan Laporan Keberlanjutan yang mencakup kinerja kegiatan di bidang ekonomi, lingkungan hidup dan sosial ini dilaporkan secara tersendiri bersama dengan Laporan Tahunan-nya sejak tahun 2005. Dan pada tahun 2006 untuk pertama kalinya, Antam menggunakan format yang mengikuti kerangka kerja yang ditetapkan oleh Global Reporting Initiatives (GRI) yang disebut dengan GRI’s G3 Guidelines” (Panduan Pelaporan Global) yang diluncurkan pada tahun 2005. Walaupun sistem pelaporan ini mungkin belum sepenuhya mengikuti panduan GRI’s G3 tersebut, tetapi Antam telah berupaya mematuhinya secermat mungkin dan bertekad akan mematuhi secara penuh sebelum tahun 2010.

Pada Earth Summit tahun 1992 di Rio di Janeiro, para pemimpin sudah menyepakati berbagai langkah yang harus diambil untuk menyelamatkan bumi. Sepuluh tahun kemudian, di Johannesburg, para pemimpin dunia bertemu kembali dalam World Summit on Sustainable Development, dan menyatakan bahwa kita perlu segera bertindak untuk melestarikan alam yang tidak kita warisi dari nenek moyang kita melainkan pinjaman dari anak cucu kita. Tidak heran pula bila inisiatif global tentang sustainability itu juga ditumpukan pada keterlibatan perusahaan-perusahaan besar terutama perusahaan yang dalam aktivitasnya terkait langsung dengan sumber daya alam. Sehingga sejak pertengahan tahun 1990-an tersebut juga telah muncul konsep baru dalam akuntansi yang bertajuk Triple Bottom Line yang juga biasa disebut dengan Triple P (Profit, Planet, People). Konsep ini percaya bahwa kelangsungan dan pertumbuhan perusahaan tidak semata-mata bergantung pada laba usaha (Profit), melainkan juga tindakan nyata yang dilakukan perusahaan terhadap lingkungan (Planet), dan keadilan sosial (People).

Sayangnya hingga sekarang masih banyak di antara pelaku bisnis yang terjebak dalam perdebatan menentang konsep Triple Bottom Line itu. Salah satu kelompok mengatakan bahwa urusan people dan planet bukan bagian dari core competencies dunia bisnis. Antam tidak ingin terjebak dalam perdebatan yang kontra produktif tersebut. Bagi Antam Triple Bottom Line bukan sekedar atau sebatas Corporate Social Responsibility (CSR). Antam memahami dan meyakini bahwa ukuran kinerja perusahaan tidak lagi cukup diukur dengan metrik yang tradisional dengan komponen modal, kewajiban, laba atau rugi belaka. Sebagai perusahaan yang ingin survive, Antam bertekad menjadi lembaga usaha yang sustainable dan didasari pada keadilan sosial sesuai dengan falsafah bangsa. Antam juga mempertahankan hubungan dan kontak yang baik dengan masyarakat sekitar, yang sebagian besar sudah ada di lokasi semenjak kegiatan operasi dimulai. Selain itu, Antam juga memiliki standar pengelolaan lingkungan yang setara atau melebihi standar nasional, yang salah satunya ditandai dengan memperoleh sertifikasi manajemen pengelolaan lingkungan ISO 14001.

Mengingat strategisnya isyu ini Antam juga bersungguh-sungguh dalam melaksanakan CSR-nya, yang sesuai dengan konsep keberlanjutan yang ditetapkan Antam sebagai salah satu kebijakan stratesisnya guna merealisasikan konsep Triple Bottom Line perusahaan. Ujud nyata keseriusan Antam ini dapat terlihat dari kegiatan-kegiatan CSR yang dilakukannya seperti yang tertuang dalam Laporan Keberlanjutan Antam setiap tahunnya.

Dalam Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report) Antam tahun 2006, yang merupakan tahun kedua Antam mempubikasikan laporan keberlanjutan, dapat dilihat kinerja kegiatan Antam di bidang ekonomi, lingkungan hidup dan sosial sepanjang tahun 2006. Dimana dalam rangka kegiatan pelaporan ini, Antam telah mengadakan serangkaian dialog dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) terkait, yang telah terbukti sangat produktif. Sehingga Antam berupaya mengembangkan keterlibatan stakeholders secara formal, khususnya yang berkaitan dengan pelaporan keberlanjutan, sebagai upaya mengelola isu-isu keberlanjutan secara lebih baik. Laporan Keberlanjutan ini juga merupakan sarana manajemen maupun alat komunikasi yang baik untuk memberikan informasi yang transparan kepada stakeholders dan memberi umpan balik yang relevan atas hal-hal yang telah dilakukan dan dijanjikan, menuju keberlanjutan usaha Antam. Sehingga Antam dapat mengidentifikasi bidang-bidang apa saja yang memerlukan keputusan dan tindakan yang harus segera diambil.

Laporan Keberlanjutan 2006 Antam mencerminkan upaya memaparkan komitmen perusahaan pada pembangunan berkelanjutan yang merupakan inti dari filosofi Antam. Antam berkeyakinan bahwa dengan mengukur dan memaparkan kinerja perusahaan menuju pembangunan berkelanjutan berdasarkan GRI’s G3 atau Inisiatif Pelaporan Global yang baru, dapat membantu dan memperkokoh strategi perusahaan untuk mencapai keberlanjutan. Dimana faktor kunci keberhasilan penerapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility, CSR) dalam sebuah perusahaan adalah komitmen penuh perusahaan dalam menerapkan CSR. Karena suatu inisiatif atau program yang bertujuan untuk membangun suatu komunitas atau masyarakat akan gagal bila tidak dikelola secara layak dan terus-menerus, sesuai dengan komitmen Antam pada keberlanjutan.

Inisiatif CSR harus berkesinambungan. Program-program CSR Antam bukan sekedar berupa donasi. Antam berupaya menerapkan konsep keberlanjutan dengan mengembangkan sebuah strategi CSR yang mempunyai target, tujuan dan program yang kongkrit demi memenuhi harapan stakeholders-nya. Komitmen Antam juga berlaku secara jangka panjang, agar strategi CSR perusahaan dipahami dan didukung oleh stakeholders, khususnya para pegawai. Karena Antam meyakini bahwa perusahaan serta keberlanjutan perusahaan bergantung pada pendekatan perusahaan dalam menerapkan CSR. Pada lampiran dapat dilihat ringkasan Kinerja dan Upaya Antam 2006 berdasarkan GRI’s G3 yang disadur dari Laporan Keberlanjutan Antam tahun 2006.

Perusahaan lainnya yang juga telah melaksanakan dan melaporkan kegiatan CSR perusahaan dengan baik adalah PT Unilever Indonesia Tbk (Unilever). Walaupun pelaksanaan dan pelaporan kegiatan CSR ini bersifat voluntary bagi Unilever, tetapi perusahaan telah melaporkan kegiatan CSR mereka dalam Sustainability Report, secara terpisah dari Laporan Tahunan-nya sejak tahun 2006.

Setelah tumbuh sejak tahun 1933 bersama bangsa Indonesia, Unilever sudah menghasilkan 100 produk di pabrik Cikarang dan Rungkut, mulai dari shampo dan teh, sampai sabun cuci dan margarin. Produk Unilever dapat ditemukan di seluruh Nusantara, di berbagai outlet, mulai dari warung hingga jaringan supermarket besar. Karena itu, dampak operasi Unilever terasa di seluruh nusantara. Dengan pengaruh besar ini, Unilever merasa memanggul tanggung jawab yang besar pula. Unilever telah memahami dinamika ekonomi, masyarakat dan lingkungan Indonesia, sehingga mereka yakin bahwa keberhasilan mereka saling berkaitan dengan kekuatan Indonesia. Setiap hari, Unilever berupaya menciptakan solusi yang saling menguntungkan seperti penghematan energi untuk mengurangi emisi dan biaya produksi, meningkatkan kapasitas pemasok dan pelanggan mereka; serta membangun reputasi terbaik brand Unilever dengan berbagai program sosial dan lingkungan untuk mengatasi permasalahan Indonesia dengan cara inovatif.

Pada tahun 2000, kami membentuk Yayasan Unilever Indonesia Peduli dengan tujuan menjadi “perwujudan utama tanggung jawab sosial perusahaan Unilever”. Pendirian yayasan ini adalah langkah nyata untuk menuju pertumbuhan bersama dengan masyarakat dan lingkungan secara berkelanjutan. Unilever berupaya untuk berbagi sumber daya dalam upaya pencapaian kualitas hidup yang lebih baik. Misi Unilever adalah memberdayakan potensi masyarakat, memberikan nilai tambah, memperkuat sinergi dan menjadi katalisator yang menginspirasi pengembangan kemitraan. Unilever terus mengembangkan reputasi perusahaan dengan mempromosikan prinsip-prinsip berkelanjutan dalam pembangunan lingkungan, masyarakat dan pertumbuhan dunia usaha.

Setiap inisiatif CSR Unilever dibangun dengan pemikiran dasar yang komprehensif. Unilever selalu berupaya dari hal kecil untuk menjaga efektivitas pengembangan inisiatif perusahaan mereka. Setelah itu, mereka segera mereplikasi atau mengembangkan keberhasilan yang telah dicapai, agar dampak sosial inisiatif yang bersangkutan menjadi lebih

besar. Unilever secara aktif mencari masukan, usulan dan komentar dari para stakeholder, terutama dari kalangan masyarakat yang menjadi sasaran. Hasilnya adalah kontribusi perusahaan yang lebih efektif, efisien dan tepat sasaran. Yayasan ini memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi pengembangan inisiatif masyarakat. Yayasan juga memberi peluang untuk saling berbagi pengetahuan antar program dan inisiatif, yang dikembangkan oleh berbagai brand Unilever di berbagai daerah. Dengan selalu mengupayakan berbagi sumber daya, Unilever dapat memberikan kontribusi yang lebih besar kepada masyarakat.

Dalam Sustainability Report-nya, Unilever menjadikan 3 (tiga) inisiatif utama dalam kegiatan CSR mereka yaitu Kesehatan dan Kebersihan, Program Lingkungan dan Perekonomian Lokal. Sedangkan kinerja dan kepatuhan pelaksanaan CSR tersebut dikelompokkan ke dalam 6 (enam) kelompok besar yaitu Konsumen, Pelanggan, Pemasok, Karyawan, Pabrik dan Masyarakat. Dan PT SGS Indonesia – Systems and Services Certification, yang ditunjuk Unilever untuk memberikan jaminan yang tidak berpihak atas Sustainability Report 2006 mereka, telah memberikan opini bahwa semua informasi dan data yang terdapat pada Sustainability Report 2006 disampaikan secara akurat, reliable dan memberikan gambaran yang seimbang dan sesuai dengan aktivitas Unilever yang terkait dengan sustainability di tahun 2006.

Contoh perusahaan lainnya yang telah melaksanakan kegiatan CSR dan juga telah melaporkan kegitan tersebut sebagai bagian dari Laporan Tahunan perusahaan adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI). Tanggung jawab sosial perusahaan terus dilakukan oleh BMI melalui mitra yang dipercayakan untuk menjalankan kegiatan CSR atas nama Bank Muamalat, yaitu Baitulmaal Muamalat (BMM), yang telah beroperasi sejak tahun 1997 sebagai yayasan amal nirlaba.

Dalam rangka memperkuat kerjasama strategis dengan BMM sebagai mitra dalam menerapkan berbagai program CSR, BMI senantiasa meningkatkan jumlah dana amal serta memperluas jangkauan program untuk mencapai basis populasi yang lebih luas. Selama satu dasawarsa, BMM terus tumbuh dan mendapat kepercayaan serta dukungan dari masyarakat luas sebagai suatu organisasi amal nirlaba yang memiliki akuntabilitas serta dapat diandalkan. Di lain pihak, kemitraan dengan BMI juga memungkinkan BMM untuk memperluas jangkauannya lebih jauh lagi, dengan memanfaatkan semua infrastruktur BMI yang tersedia.

Pelaksanaan CSR merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tujuan usaha BMIuntuk mengujudkan tatanan masyarakat yang adil dan makmur sejalan dengan prinsip-prinsip dasar perekonomian syariah. Pada tahun 2007, BMI mengalokasikan dana sebesar Rp 4 miliar untuk keperluan kegiatan amal BMM dalam kerangka kegiatan CSR, juga sebagai bagian dari tata kelola perusahaan yang baik. Program CSR BMI ini masih diarahkan kepada pembinaan serta dukungan yang diberikan dalam rangka memberdayakan usaha mikro dan pengusaha kecil. Program Komunitas Usaha Mikro Muamalat berbasis Mesjid (KUM3) yang diselenggarakan BMI bersama BMM terus tumbuh dan mendapat kepercayaan para peserta program. Melalui KUM3, anggaran sosial perseroan baik berupa zakat maupun dana sosial lainnya mampu terdistribusi secara langsung dan tepat sasaran. KUM3 mampu menumbuhkan komunitas usaha mikro yang menganut dan taat kepada azas syariah. Visi dakwah yang dominan dalam program ini sekurang-kurangnya telah membangun kesadaran beragama para peserta. Hal itu terlihat dari tumbuhnya kebiasaan peserta menghadiri majelis taklim dan melaksanakan amalan sunnah.

Sejak diluncurkan tahun 1999, program KUM3 ini telah menggalang lebih dari 1.029 peserta dari kalangan pengusaha kecil dan mikro. Mereka tersebar di 60 jaringan masjid di Indonesia dan didampingi oleh 54 konsultan (tenaga pendamping), hingga akhir tahun 2007.

Dana ZIS masyarakat yang terakumulasi hingga akhir tahun 2007 mencapai Rp 12 miliar, meningkat dari Rp 40,6 miliar pada tahun 2006. Dengan mengandalkan sebagian besar sumber pendanaannya dari zakat maal, dana BMM mampu mencapai tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun yang melebihi 50%. Hal ini menjadi bukti pengakuan masyarakat terhadap akuntabilitas BMM dalam mengemban amanah. Dan sejak tahun 2006, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mempercayakan pengelolaan dana bergulir bagi Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) kepada BMM. Hingga akhir tahun 2007, portofolio dana pemerintah yang dikelola BMM melalui BMI mencapai Rp 135,3 miliar. Lembaga internasional setingkat Islamic Relief pun telah menggandeng BMM sebagai mitranya di Indonesia untuk menggarap LKMS di berbagai provinsi.

Kepeloporan dalam menangani bencana di tanah air juga semakin menguatkan eksistensi BMM. Sepanjang tahun 2007, bersama dengan BMI, BMM telah menyalurkan dana kemanusiaan sebesar Rp 9,6 milliar yang terdistribusi ke beberapa wilayah di Indonesia yang mengalami bencana alam. BMM pun memperoleh kepercayaan dari Islamic Development Bank (IDB) untuk mengelola sekolah dan program beasiswa bagi 600 anak yatim korban Tsunami Aceh. Sampai tahun 2007, sesuai rencana, program beasiswa ini telah ditingkatkan menjadi 1.600 siswa.

Dari uraian di atas juga terlihat bahwa sebagian besar kegiatan CSR yang dilakukan BMI melalui mitra kerjanya BMM, telah mengarah dan menekankan kepada program yang bersifat berkelanjutan (sustainability), terutama terkait dengan pertumbuhan dan penguatan ekomoni rakyat.

CSR sebagai Mata Rantai Pembangunan Indonesia

Dalam pidato ilmiah pengukuhannya sebagai Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Akuntansi FEUI pada 14 Nopember 2007 lalu, Prof. Dr. Sidharta Utama, CFA menyebutkan; saat ini tingkat pelaporan dan pengungkapan CSR di Indonesia masih relatif rendah. Selain itu, apa yang dilaporkan dan diungkapkan sangat beragam, sehingga menyulitkan pembaca laporan tahunan untuk melakukan evaluasi. Pada umumnya yang diungkapkan adalah informasi yang sifatnya positif mengenai perusahaan; sehingga laporan tersebut pada akhirnya hanyalah merupakan alat public relation perusahaan dan bukan sebagai bentuk akuntabilitas perusahaan ke publik. Pelaporan saja tidaklah cukup untuk tercapainya akuntabilitas, pelaporan tersebut perlu didukung oleh infrastruktur yang mendorong perusahaan untuk melaksanakan dan melaporkan CSR secara obyektif .

Ada beberapa evaluasi terhadap kondisi infrastruktur pendukung pelaporan CSR di Indonesia. Hingga kini belum ada kesepakatan standar pelaporan CSR yang dapat dijadikan acuan bagi perusahaan dalam menyiapkan laporan CSR. Cakupan standar yang ada sudah cukup komprehensif, namun, belum adanya laporan yang dapat mengikhtisarkan dampak kegiatan perusahaan terhadap sosial dan lingkungan akan menyulitkan stakeholders dalam mengevaluasi efektivitas kegiatan CSR perusahaan. Untuk meningkatkan kredibilitas laporan CSR, diperlukan jasa assurance terhadap laporan tersebut, tetapi hingga kini standar assurance terhadap laporan CSR masih dalam proses pengembangan. Sistem governance di Indonesia menyatakan bahwa Dewan Komisaris dan Direksi dalam mengelola perusahaan harus mengutamakan kepentingan perusahaan, yang berimplikasi bahwa tidak hanya kepentingan pemegang saham yang perlu diperhatikan, tetapi juga kepentingan stakeholders lainnya (konsisten dengan konsep CSR). Namun, karena penunjukan kedua organ tersebut dilakukan oleh RUPS, maka diperlukan organ yang mendukung pelaksanaan CSR perusahaan, seperti komite CSR atau perluasan peran organ yang ada, seperti perluasan peran komite audit. Undang-Undang Perseroan mewajibkan semua perseroan untuk melaporkan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan di laporan tahunan; tetapi belum adanya aturan lanjutan yang mengoperasionalkan kewajiban tersebut akan menyebabkan laporan yang sangat bervariasi antar perusahaan sehingga menyulitkan pembaca laporan tersebut. Akuntabilitas terhadap publik, khususnya bagi perusahaan non-terbuka, tidak ada karena laporan tersebut hanya disampaikan ke pemegang saham. Terakhir, kesadaran publik atas pentingnya CSR semakin meningkat akhir-akhir ini, namun belum sampai pada tingkat dimana publik mempunyai kekuatan untuk menekan perusahaan untuk melaksanakan dan melaporkan kegiatan CSR. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa belum berjalannya infrastruktur pendukung pelaporan CSR bisa jadi menjelaskan mengapa tingkat pelaporan CSR di Indonesia relatif rendah.

Dan berikut beberapa rekomendasi yang dapat diberikan untuk meningkatkan tingkat dan kualitas pelaporan CSR di Indonesia, sehingga tercapai akuntabilitas kegiatan CSR perusahaan terhadap stakeholders. Pertama, karena Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas telah diberlakukan, maka perlu segera disiapkan aturan lanjutan yang secara eksplisit menjelaskan:

– sektor usaha yang wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan,

– kapan perusahaan dapat dinyatakan telah melaksanakan tanggung jawabnya sehingga tidak perlu dikenakan sanksi,

– cakupan laporan tanggung jawab sosial yang perlu disampaikan perusahaan.

Selain itu, sebaiknya laporan perusahaan berskala besar dan usahanya terkait dengan sumber daya alam dapat diakses oleh publik dan perusahaan tersebut didorong agar laporannya diaudit oleh pihak eksternal yang independen. Kedua, diperlukan riset lebih lanjut untuk mengembangkan standar pelaporan CSR yang dapat mengikhtisarkan efektivitas kegiatan CSR perusahaan, serta diperlukan suatu standar pelaporan CSR yang berlaku global sehingga dapat dijadikan acuan perusahaan di berbagai negara dalam menyiapkan laporan CSR. Ketiga, standar assurance terhadap laporan CSR yang diterima umum perlu segera disiapkan, dengan memperhatikan karakteristik laporan CSR yang berbeda dari laporan keuangan. Keempat, perusahaan perlu didorong (melalui regulasi pemerintah atau asosiasi industri) untuk mengubah sistem governance yang akomodatif terhadap pelaksanaan dan pelaporan kegiatan CSR perusahaan. Demikian pula, sistem kompensasi Dewan Komisaris dan Direksi direvisi dengan mendasarkan besarnya kompensasi tidak hanya pada laba perusahaan tetapi juga pada indikator kinerja CSR perusahaan. Kelima, perlu terus ditumbuhkan kesadaran publik atas pentingnya pembangunan berkelanjutan dan bahwa kesejahteraan sosial dan pelestarian sosial adalah tanggung jawab bersama. Untuk itu, kurikulum pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga tinggi perlu dirancang untuk menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab ini.

Pambudi (2006) juga menyebutkan bahwa konsep tentang CSR di Indonesia belum sematang di Eropa dan Amerika. Sebagaimana yang dikutipnya dari tulisan White (2005) dimana di negara-negara tersebut konsep CSR ini telah memasuki fase yang disebut “integrasi” setelah melewati tahap pergulatan ide serta introduksi konsep. Fase ini merefleksikan tingkat kematangan CSR sebagai ide dan pengakuan sebagai bagian dari strategi serta operasi perusahaan dengan harapannya yang paling canggih adalah menjadikan CSR sebagai “everyone’s business”. Dan tantangan terbesar untuk CSR pada masa sekarang ini adalah pada 3 (tiga) hal yaitu : (1) Aligment (Penyelarasan), dengan sasaran bisnis dalam strategi perusahaan. (2) Integrasion, di antara seluruh area fungsional dan entitas bisnis perusahaan. (3) Institusionalization,  dengan cara memasukkan seluruh strategi, kebijakan dan proses  kedalam organisasi.

Lebih jauh diuraikan Pambudi (2006) bahwa, untuk memajukan CSR bahkan menjadikannya sebagai “everyone’s business”, adalah PR kita bersama dan dibutuhkan koordinasi serta kemitraan (partnership) yang erat di antara 3 (tiga) elemen utama, yang selama ini diyakini menjadi penggerak CSR yaitu Civil Society, Government dan Business. Pada konteks ini, kita bisa belajar pada apa yang terjadi di Inggris. Pergerakan CSR menarik Pemerintah Inggris untuk turut mendorongnya. Pada tahun 2004, keluar peraturan Operating and Financial Review (OFR) yang mewajibkan perusahaan besar mempublikasikan lebih banyak kinerja sosial dan lingkungannya. Pemerintah Inggris juga mendirikan CSR Academy di Manchester untuk mendorong kompetensi CSR melalui serangkaian pelatihan dan pendidikan, dimana dapat dikatakan inilah sekolah CSR pertama di dunia.

Contoh kemitraan yang apik lainnya juga terjadi di Austria. Pada bulan Mei 2003, Federasi Industri Austria, Kementrian Ekonomi dan Tenaga Kerja, dan KADIN Austria bergabung meluncurkan apa yang disebut “Initiative CSR Austria”. Dengan tujuan besarnya adalah menciptakan Austrian Sustainability Strategy, maka dibuatlah CSR Council-Committee yang bertugas membangun dialog antara pemerintah, dunia usaha serta masyarakat tentang arti penting CSR bagi perkembangan bisnis, masyarakat dan Austria. Hasilnya setelah melalui serangkaian dialog besar, muncullah Austrian CSR Guiding Visions sebagai blue-print CSR, lalu Austrian CSR Award bernama TRIGOS, juga Austrian Business Academy for Sustainable Development untuk menyemai lahirnya para ahli CSR.

Lalu bagaimana dengan CSR di Indonesia? Bisakah kita mengoptimalkan pelaksanaan CSR yang sudah ada selama ini dengan lebih bersinergi antara semua komponen bangsa yang terkait, guna menciptakan multiplayer efek yang positif bagi kemajuan bangsa dan negara Indonesia? Belajar dari negara Inggris dan Austria di atas, dengan kondisi Indonesia sekarang, hal ini mungkin terkesan terlalu idealis, tetapi tidak ada hal yang mustahil jika kita semua bertekat untuk itu. Karena aktivitas CSR telah dilakukan oleh hampir seluruh sektor industri di Indonesia. Pemerintah juga telah mewajibkan perusahaan yang bergerak dalam pengelolaan sumber daya alam untuk melaksanakan dan melaporkan kegiatan CSR mereka, serta adanya lembaga-lembaga yang memberikan penghargaan melalui berbagai Award kepada para penggerak CSR untuk mengapresiasi usaha mereka. Sekarang tinggal bagaimana kita dapat mensinergikan ke semua komponen tersebut untuk satu visi yang lebih besar yaitu “untuk pembangunan kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia”.

Sejalan dengan rekomendasi yang diberikan Utama (2007), bibit-bibit untuk sinergi dan improvement konsep dan pelaksanaan CSR ini di Indonesia juga sudah mulai bermunculan. Dari sisi kalangan bisnis, seperti Antam mengaku telah mengintegrasikan kegiatan CSR mereka dengan strategi perusahaan. Antam yang wajib (mandatory) melaksanakan dan melaporkan kegiatan CSR mereka, telah mengacu kepada GRI’s G3 dan dibuat secara terpisah dari Laporan Tahunan. Demikian juga dengan Unilever yang secara sekarela (voluntary) melaksanakan dan melaporkan kegiatan CSR mereka secara terpisah dari Laporan Tahunan, dimana Sustainability Report tersebut juga telah memperoleh assurance dari PT SGS Indonesia – Systems and Services Certification. Ataupun BMI yang telah melaksanakan dan melaporkan kegiatan CSR mereka sebagai bagian dari Laporan Tahunan, yang juga sebagai salah satu bentuk pelaksanaan dan pengungkapan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).

Dari sisi akademisi, dengan diprakarsai oleh Ikatan Akuntan Indonesia-Komparteman Akuntan Manajemen (IAI-KAM), juga telah mendirikan lembaga semacam GRI pada pertengahan 2005 yang diberi nama “National Center For Sustainability Reporting (NCSR). Lembaga ini bersifat independen dengan misi “menyusun dan menyebarluaskan pedoman penyusunan laporan keberlanjutan untuk organisasi/perusahaan di Indonesia. Dimana diharapkan lembaga ini dapat diakui oleh regulator dan masyarakat sebagai institusi yang credible dan berkompeten dalam menyusun standar penyusunan laporan keberlanjutan untuk perusahaan atau organisasi di Indonesia (Darwin, 2006).

Sedangkan dari sisi regulator/pemerintah tentu kita harapkan akan ada tindakan nyata yang lebih besar untuk menyokong pengembangan konsep dan pelaksanaan CSR ini dengan lebih baik dan tepat sasaran, demi pembangunan Indonesia yang berkelanjutan. Penetapan Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah salah satu langkah awal yang menggembirakan. Tetapi tentu dibutuhkan tindakan lebih lanjut dari pemerintah dalam mengapresiasi usaha semua kalangan yang telah melaksanakan CSR. Salah satunya mungkin dengan jalan memberikan keringanan atau kompensasi biaya pajak yang ditanggung perusahaan yang telah melaksanakan CSR. Menurut penulis pengkompensasian biaya CSR yang dilakukan perusahaan sebagai pengurang biaya pajak penghasilan perusahaan dapat saja dilakukan. Karena pada hakekatnya pelaksanaan CSR yang sesuai dengan konsep yang sebenarnya telah membantu pemerintah dalam pembangunan bangsa, dimana sejatinya mayoritas sumber pendapatan pemerintah untuk pembiayaan pembangunan tersebut adalah dari pajak.

Tetapi tentu kompensasi biaya pelaksanaan CSR ini sebagai pengurang pajak membutuhkan uraian yang lebih terperinci seperti standar kegiatan CSR yang dapat dikompensasikan sebagai pengurangan pajak, pelaporan yang terstandarisir dan diaudit oleh badan yang kompeten, dan sebagainya. Salah satu rujukan yang dapat digunakan adalah kebijakan pemerintah terhadap zakat yang dikeluarkan oleh ummat muslim dan disalurkan kepada badan amil pengelola zakat yang telah disahkan oleh pemerintah, akan dapat dikompensasikan sebagai biaya pengurang pajak penghasilan.

Hal ini dapat dipahami, karena penggunaan zakat telah ditetapkan oleh syariah adalah diperuntukkan bagi Mustahiq delapan ashnaf yaitu fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah, dan ibnussabil, yang di dalam aplikasinya dapat meliputi orang-orang yang tidak berdaya secara ekonomi seperti anak-anak yatim piatu, orang jompo, penyandang cacat, orang yang menuntut ilmu, pondok pesantren, anak terlantar, orang yang terlilit utang, pengungsi yang terlantar, dan korban bencana alam. Dimana pengelolaan zakat yang dilakukan dilakukan oleh amil zakat dirancang sedemikian rupa, seperti pemberian zakat yang bersifat usaha produktif dengan pendampingan agar dapat meningkatkan kesejahteraan penerimanya, sehingga mereka bisa mendiri secara ekonomi dan meningkat menjadi masyarakat yang wajib mengeluarkan zakat, bukan lagi menerima zakat (adanya peningkatan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan /sustainability economic improvement – penulis).

Dalam Undang-Undang nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan Penjelasan atas UU tersebut, diuraikan bahwa Zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap muslim yang mampu membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya. Dengan pengelolaan yang baik, zakat merupakan sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat. Agar sumber dana yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat terutama untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial, perlu adanya pengelolaan zakat secara profesional dan bertanggung jawab yang dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzzaki, mustahiq, dan pengelola zakat. Untuk maksud tersebut, perlu adanya undang-undang tentang pengelolaan zakat yang berasaskan keimanan dan takwa dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, kemaslahatan, keterbukaan, dan kepastian hukum sebagai pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang telah ditetapkan pemerintah dapat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban membayar zakat dan pajak. Kesadaran membayar zakat ini juga dapat memacu kesadaran membayar pajak.

Belajar dari zakat ini, penulis berpendapat jika kegiatan CSR dengan ketentuan tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah (seperti kriteria bentuk kegiatan, sasaran dan dampak nyata kegiatannya, pelaksanaan dan akuntabilitas kegiatan, dsb) dapat saja dikompensasikan sebagai pengurang biaya pajak. Karena semua kegiatan tersebut telah membantu pemerintah dalam mengelola pembanguanan yang berkelanjutan di Indonesia. Dan dengan suatu sinergi yang harmonis antara semua komponen seperti zakat yang fokus kepada pemberantasan kemiskinan, kegiatan CSR yang menyentuh masyarakat disisi lain seperti pemberdayaan ekonomi masyarakat lemah, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup dan sebagainya akan dapat mengurangi beban pemerintah yang dibiayai dengan pajak untuk sektor tersebut, dan mengoptimalkan pembanguan pada sektor lainnya. Sehingga diharapkan zakat dan aktivitas CSR ini akan dapat menjadi salah satu mata rantai pembangunan di Indonesia, guna mengujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penutup

CSR adalah suatu konsep dan produk yang indah jika dijalankan sesuai dengan hakekatnya. Di Indonesia CSR pun makin marak dan berkembang dengan pesat, sejalan dengan perkembangan pemaknaan dan pelaksanaannya. CSR tidak hanya akan menjadi bentuk kepedulian untuk berbagi, tetapi lebih jauh akan menjadi tanggung jawab semua orang sebagai salah satu bentu usaha untuk menjaga kelangsungan hidup mereka. Jika semua komponen merasa menjadi bagian dari suatu ekosistem dimana dia tinggal, maka mereka akan merasa bertanggung jawab untuk menjaga kelangsungan ekosistem tersebut (demi kelangsungan hidup dirinya). Di Indonesia, pemerintah dapat diibaratkan sebagai super ekosistem yang mengayomi semua ekosistem yang ada, sudah sepatutnya mendukung dan mengapresiasi siapa saja yang berkontribusi untuk keberlanjutan ekosistem tersebut, karena mereka telah membantu pemerintah dalam berkontribusi dan mengambil alih sebagian dari tugas pemerintah dalam pembangunan bangsa. Salah satu bentuk apresiasi tersebut seperti untuk kegiatan CSR yang memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan pemerintah dapat dikompensasi sebagai pengurang biaya pajak seperti halnya perlakuan terhadap zakat. Dan semua kegiatan CSR ini sebaiknya dibingkai dalam suatu sinergi yang harmonis antara semua komponen yang terkait, sehingga CSR bisa menjadi salah satu mata rantai pembangunan Indonesia yang berkelanjutan, guna membantu pengujudan Indonesia yang adil dan makmur. Semoga …………

 

DAFTAR PUSTAKA

Brooks, Leonard J., 2007. Business & Profesional Ethics for Directors, Executives & Accountants. 4 th Edition, United States of America : Thomson South-Western.

 

Carroll A. B., 1979. “A Three-Dimanesional Conceptual Model of Corporate Performance”. Academy Management Review, 4(4), pp. 479-505.

 

Darwin, Ali. Ak., MSc., 2006. “Akuntabilitas, Kebutuhan, Pelaporan dan Pengungkapan CSR bagi Perusahaan di Indonesia”. Economics Business Accounting Review (EBAR), Edisi III/September-Desember 2006, hal 83 – 95.

 

Global Reporting Initiative, 2005. “Financial Services Sector Supplement : Social Performance”.

 

Kalla, M. Jusuf., 2006. “Politisi dan Pebisnis”. Economics Business Accounting Review (EBAR), Edisi III/September-Desember 2006, hal 5 – 8.

 

Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report) PT Aneka Tambang (Antam) tahun 2006.

Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report) PT Unilever Indonesia Tbk tahun 2006.

A.    Laporan Tahunan (Annual Report) PT Aneka Tambang (Antam) tahun 2006.

 

Laporan Tahunan (Annual Report) PT Bank Muamalat Indonesia tahun 2007.

 

Lawrence, Anne T., Weber, James., Post, James E., 2005. Business and Society; Stakeholders, Ethics, Public Policy. 11th Edition. Singapore : Mc Graw – Hill International Edition.

 

Martani, Dwi., 2006. “Makna Corporate Social Responsibility : Sejarah dan Perkembangannya”. Economics Business Accounting Review (EBAR), Edisi III/September-Desember 2006, hal 113 – 120.

 

Pambudi, Teguh Sri., 2006. “CEO dan CSR : Antara Citra dan Kepedulian”. Economics Business Accounting Review (EBAR), Edisi III/September-Desember 2006, hal 9 – 20.

 

Penjelasan Undang-Undang nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

Undang-Undang nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

 

Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

 

Utama, Prof. Dr. Sidharta., CFA., 2007. “Evaluasi Infrastruktur Pendukung Pelaporan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan di Indonesia”. Pidato Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Tetap bidang Akuntansi FEUI, 14 Nopember 2007.

 

White, Allen L., 2005. “Fade, Integrate or Transform? The Future of CSR”. Business for Social Responsibility, Agustus 2005.